Satukanal.com, Nasional– Hasil investigasi Penyebab Jatuhnya Sriwijaya Air SJ182 diumumkan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Seperti diketahui, pada Januari 2021 lalu terjadi kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ182 rute Jakarta-Pontianak di Kepulaauan Seribu.
KNKT menyimpullkan ada 6 faktor penyebab jatuhnya Sriwijaya Air SJ182 berdasarkan urutan waktu kejadian.
“KNKT menyimpulkan faktor yang berkontribusi pada kecelakaan ini ada 6. Kami mengacu dari dokumen prosedur standar ICAO Annex 13,” kata Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo dalam jumpa pers di Kantor KNKT, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (10/11/2022) dikutip dari suara.com.
6 Penyebab Jatuhnya Sriwijaya Air SJ182
Adapun faktor Penyebab Jatuhnya Sriwijaya Air SJ182 tersebut akan dijelaskan di bawah ini. Berikut faktor Penyebab Jatuhnya Sriwijaya Air:
1. Ada masalah pada sistem kemudia otomatis (autothrottle)
Menurut KNKT, sebelum pesawat jatuh, ada sejumlah laporan soal kerusakan throttle yang ditindaklanjuti dengan memperbaiki dan mengganti komponennya. Meski begitu, menurut Nurcahyo, tahapan perbaikan tersebut belum mecapai mekanikal.
Nurcahyo juga menyebutkan bahwa dalam penerbangan itu, gangguan pada sistem throttle ini ternyata tidak dipantau dengan baik oleh pilot.
2. Gangguan sistem mekanikal menyebabkan tuas dorong pengatur tenaga mesin (thrust level) di sisi kanan tidak bergerak mundur sesuai permintaan sistem autopilot.
Kemudian faktor kedua, KNKT meyakini bahwa gangguan pada sistem mekanikal itu menyebabkan tuas dorong pengatur tenaga mesin (thrust level) di sisi kanan tidak bergerak mundur sesuai permintaan sistem autopilot.
Sebagai kompensasinya, tuas dorong di sisi kiri pun terus bergerak mundur untuk menghasilkan jumlah tenaga mesin sesuai permintaan sistem autopilot.
Perbedaan tenaga mesin pada sisi kanan dan kiri, yang disebut sebagai asimetri itu, membuat pesawat miring dan berbelok ke kiri.
3. Keterlambatan CTSM (cruise thrust split monitor) untuk menonaktifkan autothrottle
Berlanjut dari point sebelumnya, di mana dalam kondisi asimetri yang membuat pesawat miringdan berbelok ke kiri, terdapat CTSM (cruise thrust split monitor) pada pesawat Boeing 737-500 yang berfungsi untuk menonaktifkan autothrottle untuk mencegah perbedaan tenaga mesin yang lebih besar. Ini lah yang menjadi faktor ketiga terjadinya kecelakaan.
CTSM semestinya bisa aktif apabila flight spoiler di bagian sayap (perangkat yang berfungsi mengurangi daya dorong pesawat) membuka lebih dari 2,5 derajat selama minimum satu detik.
Saat itu, CTSM terlambat berfungsi karena spoiler menyampaikan nilai yang lebih rendah kepada sistem, sehingga asimetri yang terjadi semakin besar.
Menurut Nurcahyo, ada masalah pada penyetelan spoiler tersebut. Namun dia mengatakan bahwa penyetelan spoiler itu tidak pernah dilakukan di Indonesia sejak pesawat ini beroperasi pada 2012.
4. Kepercayaan Pilot pada Sistem Otomatis
Keempat, kata Nurcahyo, pilot diduga percaya pada otomatisasi atau dikenal dengan istilah complacency. Hal ini mengakibatkan pilot kurang monitoring apa yang terjadi di kokpit. Dia menyebutkan pilot mengasumsikan pesawat miring ke kanan, padahal pesawat miring ke kiri.
“Jadi kami mengindikasikan bahwa karena adanya rasa percaya sistem otomatisasi atau sering disebut sebagai complacency, yakin bahwa ‘autopilot sudah saya atur, arahnya ke kanan, ketinggiannya sudah saya atur, maka semuanya akan bergerak sesuai apa yang diinginkan’ itu rasa percaya itu sebagai complacency,” katanya.
5. Pesawat berbelok ke kiri yang seharusnya ke kanan, sementara itu arah kemudi miring ke kanan.
Menurut Nurcahyo, pesawat berbelok ke kiri, yang seharusnya ke kanan, sementara itu arah kemudi miring ke kanan. Dia menyebut kurangnya monitoring mungkin telah menimbulkan asumsi pesawat berbelok ke kanan sehingga tindakan pemulihan tidak sesuai.
“Bahwa pesawat miring ke kiri, tapi kemudinya miring ke kanan, ini menjadi tidak sesuai, karena asumsinya miring ke kanan. Jadi FDR bahwa 4 detik pertama pada saat pemulihan kemudian dibelokkan ke kiri,” jelasnya.
6. Belum adanya aturan dan panduan tentang upset prevention and recovery training (UPRT)
Kemudian, faktor selanjutnya yakni belum adanya aturan dan panduan tentang upset prevention and recovery training (UPRT) mempengaruhi proses pelatihan oleh maskapai untuk menjamin kemampuan dan pengetahuan pilot dalam mencegah dan memulihkan (recovery) terkait kondisi kemiringan pesawat.
Nurcahyo mengatakan seluruh pihak telah melakukan tindakan keselamatan (safety action) sebagai upaya untuk meningkatkan keselamatan. Dirjen Perhubungan Udara bahkan telah melakukan inspeksi khusus kepada seluruh pesawat Boeing 737-300/400/500.
“Dirjen Perhubungan Udara juga merevisi Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) Bagian 121 terkait ketentuan pelaksanaan upset prevention & recovery training (UPRT) dan membentuk tim khusus untuk membuat panduan pelaksanaan UPRT di Indonesia,” pungkasnya.
(adinda)