FOCUS GROUP DISCUSSION
Peningkatan Kemampuan Risk Assesment terhadap Pembimbing Kemasyarakatan dalam Penanganan Klien Eks Narapidana Terorisme sebagai Upaya Program Deradikalisasi
(Studi di Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Malang)
Tim Doktor Mengabdi (DM) dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya menyelenggarakan Forum Group Discussion (FGD) pada hari Jumat, tanggal 25 Agustus 2023 di Ruang Sidang 1 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. FGD ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian kegiatan Doktor Mengabdi Universitas Brawijaya Tahun 2023 yang bertujuan untuk mengevaluasi risk assessment yang sudah dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam penanganan klien eks-narapidana terorisme di Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Malang, dengan harapan agar nantinya dapat membantu meningkatkan kapasitas Pembimbing Kemasyarakatan yang ada di Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Malang.
FGD ini dipimpin oleh Ketua Tim Doktor Mengabdi (DM) yakni Dr. Setiawan Noerdajasakti, S.H., M.H., beserta wakil ketua tim peneliti Milda Istiqomah, S.H., MTCP., Ph.D. dan Anggota Peneliti Dr. Ir. Agus Tjahjono, M.S. Bapak Dr Setiawan Noerdajasakti, S.H, M.H., memaparkan pendapatnya mengenai eks-narapidana terorisme, beliau menyampaikan bahwa banyaknya kasus terorisme yang terjadi telah mengindikasikan bahwa eks-narapidana terorisme yang terdapat di Balai Pemasyarakatan (Bapas) juga ikut bertambah dari segi kuantitasnya, sehingga pola pembimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan terhadap klien eks-narapidana terorisme tentunya tidak dapat disamakan dengan eks-narapidana lainnya.
Oleh sebab itu, peningkatan kemampuan penilaian resiko (risk assesment) terhadap Pembimbing Kemasyarakatan dalam konteks menangani klien eks-narapidana terorisme dalam hal ini menjadi penting untuk diperhatikan implementasi pelaksanaanya, sehingga dapat memberikan bimbingan kemasyarakatan terhadap klien eks-narapidana terorisme secara optimal.
Terdapat 3 (tiga) narasumber yang memaparkan materi dalam FGD tersebut, yakni Leopold Sudaryono, S.H., LL.M. (The Asia Fondation), Makmun Rasyid, S.Ag., M.Ag. (Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme, Majelis Ulama Indonesia), serta Kepala Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang, yakni Suprianto, S.ST., beserta 20 (dua puluh) Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Malang.
Berdasarkan hasil FGD, diketahui bahwa pembimbingan klien eks-narapidana terorisme di Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Malang dilakukan dengan pembinaan kepribadian dan kemandirian. Pembinaan kepribadian dilakukan melalui proses konseling, penyuluhan hukum, sosial dan agama, serta pasca rehab. Sedangkan pembinaan kemandirian sendiri dilakukan dengan cara pengembangan minat, bakat, serta potensi dari klien eks-narapidana.
Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Malang menggunakan aspek pendekatan “MAWAS MBOIS” sebagai pola deradikalisasi terhadap klien eks-narapidana terorisme. Pendekatan “MAWAS MBOIS” dilakukan dengan meningkatkan kapasitas pribadi eks-narapidana, pemulihan hubungan dengan keluarga eks-narapidana, peningkatan kapasitas kemandirian ekonomi, dan pemulihan hubungan masyarakat secara umum. Menurut Suprianto, S.ST, pelibatan pihak keluarga dalam proses konseling terhadap klien eks-narapidana terorisme menjadi sangat penting karena keluarga dapat menjadi support system yang baik bagi klien.
Dalam usaha melakukan konseling dengan klien eks-narapidana terorisme, Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang juga bekerja sama dengan beberapa pihak, seperti BNPT, Densus, Intelkam setempat, Pokmas, serta beberapa dinas-dinas terkait untuk mendukung kegiatan usaha klien eks-narapidana terorisme. Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang juga turut aktif melakukan beberapa pendekatan kepada klien eks-narapidana terorisme untuk menumbuhkan rasa cinta NKRI, dimana salah satunya dilakukan dengan melibatkan klien dalam peringatan upacara hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Berdasarkan hasil temuan FGD, diketahui bahwa terhadap beberapa hambatan dalam pelaksanaan Risk Assesment terhadap klien eks-narapidana terorisme di Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang, seperti belum adanya asesmen RRI khusus untuk tindak pidana terorisme, pemahaman agama petugas yang kurang mendalam, karakter kepribadian narapidana masih terkesan anti NKRI, dan belum semua Pembimbing Kemasyarakatan telah memperoleh pelatihan mengenai Risk Assesment terhadap tindak pidana terorisme.
Adapun pernyataan dari pemateri lainnya, yakni Makmun Rasyud, S.Ag., M.Ag. (Perwakilan Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme, Majelis Ulama Indonesia) yang berpendapat bahwasannya adanya political / moral motivation yang masuk ke dalam criminal history sebagai salah satu tolak ukur tindak pidana terorisme dapat dipertimbangkan sebagai salah satu tolak ukur di Indonesia, seperti yang sudah diterapkan oleh banyak negara di Eropa dan juga Amerika. Densus 88 dan juga BNPT harus memiliki sinergi untuk menghadapi hal ini agar narapidana terorisme bisa dibina cara berpikirnya untuk jangka waktu yang panjang. Pemateri lainnya yakni Leopold Sudaryono, S.H., LL.M. (Perwakilan The Asia Foundation) menambahkan bahwasannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dapat menjadi harapan untuk membuat mandat Balai Pemasyarakatan di Indonesia menjadi lebih baik, namun apabila hal ini tidak disertai daya dukung yang besar, maka resiko kegagalannya juga akan besar.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Assessment Risiko dan Assessment Kebutuhan Bagi Narapidana dan Klien Pemasyarakatan, menjadi harapan baru bagi Pembimbing Kemasyarakatan dalam membuat program perencanaan bimbingan yang tepat dan efektif terhadap klien eks narapidana terorisme sesuai dengan tingkat resikonya.