Satukanal.com, Malang– Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rumah Keadilan melaksanakan kegiatan pemberdayaan hukum sebagai tindak lanjut dari kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juni, yaitu edukasi seputar Hukum tentang pencegahan kekerasan di dalam lingkungan Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh pada Sabtu (10/6/2023).
Kegiatan pemberdayaan hukum ini dilakukan untuk memberikan edukasi upaya penanganan kekerasan fisik maupun verbal di lingkungan pesantren, baik itu upaya preventif maupun represif. Sehingga diharapkan kegiatan ini dapat membantu mencegah dan menangani berbagai bentuk kekerasan fisik maupun verbal, yang diakibatkan kesengajaan maupun unsur kelalaian di dalam Pondok Pesantren.
Pemberdayaan hukum ini menyasar seluruh ustadz, pengurus pondok, maupun Ketua Bimbingan Konseling Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh dan menghadirkan narasumber dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rumah Keadilan dan Dosen Psikologi UMM
“Sebelum adanya BK, pelanggaran yang terjadi di pesantren ditangani pondok. Pada saat itu tingkat pelanggaran cukup minim, akan tetapi setelah diberlakukannya sanksi yang lebih ringan tingkat pelanggaran dirasa meningkat. Sehingga, muncullah BK dan mengambil alih untuk pelanggaran yang ada di Pesantren,” ujar pak Ilham
Setelah itu dilanjutkan pemaparan dari LBH Rumah Keadilan yang dimana menyatakan bahwa Pendampingan dalam penyelesaian konflik baik melalui mediasi maupun kepolisian.
“Kita sebagai guru/BK harus fokus kepada korban karena tindakan ini bisa terjadi karena adanya pelaku. Sehingga kita harus pastikan tidak ada pelaku sehingga tidak akan menimbulkan korban,” terangnya.
“Oleh karena itu, perlu diberikan tindakan kepada pelaku. Fokusnya untuk korban adalah mendampingi dan memulihkan kejiwaan anak dengan cara melalukan perlindungan dan pemenuhan hak untuk korban melalui Bimbingan Konseling. Hal ini bukan hanya untuk korban saja tetapi juga untuk semua santri di Pondok karena apabila korban merasakan kehilangan hak dan perlindungan maka tidak menutup kemungkinan santri yang lain akan berpikir bisa terjadi pada mereka juga,” lanjutnya.
Tak hanya itu, Bimbingan Konseling menyelesaikan konflik yang terjadi di antara para santri diusahakan melalui mediasi karena kita tahu bahwa penyelesaian konflik melalui jalur pengadilan merupakan langkah terakhir apabila melalui jalur mediasi sudah tidak menemukan titik temu. Apabila, jalan mediasi tidak bisa menemukan titik temu sehingga harus melalui jalur hukum (pengadilan) maka Pesantren akan menjadi saksi bagi santri/korban yang memiliki keterangan yang sebenarnya.
Anak yang menjadi saksi harus diberikan perlindungan agar saksi tidak merasa terintimidasi sehingga bisa memberikan keterangan yang sebenernya dan bisa memberikan kejelasan terkait kasus/konflik yang terjadi. Selain langkah mediasi, Pesantren bisa melakukan langkah preventif dengan cara membuat peraturan secara tertulis baik itu hak dan kewajiban mereka maupun larangan yang tidak boleh dilakukan dan menyampaikannya ke para santri.
Apabila terdapat pelanggaran terhadap peraturan tersebut maka harus ditegakkan sehingga bisa memberikan efek jera bagi para santri dan kesadaran terhadap adanya peraturan ini. Selain itu, diperlukannya cara penegakan peraturan tersebut agar bisa berjalan efektif.
LBH Rumah Keadilan juga memberikan rekomendasi untuk menanggulangi konflik atau permasalahan yang akan ada dikemudian hari, yaitu Pembentukan tim advokasi internal yang berfungsi untuk terjun langsung dalam penyelesaian permasalahan yang ada di pesantren dan menjadi juru bicara dan Menyediakan SOP penanganan penyelesaian perkara/masalah.
Selanjutnya pemaparan dari Pak Ibnu selaku Dosen Psikologis UMM yang menyatakan bahwa saksi memiliki peran penting dalam penanganan kasus. Penanganan secara psikologis dilakukan bisa dengan cara satu/satu dari pelaku, korban, kemudian saksi. Pembentukan karakter pada anak sangat penting agar pelanggaran tidak terjadi terulang-ulang.
Pelanggaran bisa terjadi karena awalnya korban kemudian dia menjadi pelaku pelanggaran tersebut. Stigma BK pada anak-anak adalah tempat untuk dimarahi sehingga stigma tersebut harus diantisipasi oleh BK dengan cara merubah sistem BK menjadi tempat pengaduan yang humanis bukan tempat untuk dimarahi sehingga anak-anak tidak takut untuk ke BK.
BK sebagai komunitas harus bisa merangkul korban, saksi, dan pelaku sehingga hal-hal yang dilanggar tidak akan terjadi lagi. Pada saat melakukan pemanggilan kepada pelaku jangan diinvestigasi dengan cara menyudutkan sehingga akan dapet merusak psikologis mereka.
“Oleh karena itu, pada saat pemanggilan pelaku maka bisa di tanyakan kegelisahan-kegelisahan yang dialami oleh pelaku. Saksi yang melihat kejadian tersebut tidak hanya terbatas dari siswa, tetapi bisa juga dari guru, penjaga keamanan, dan lain-lain,” ungkapnya.
Editor: Redaksi Satukanal