Satukanal.com, Malang – Keputusan seseorang untuk childfree atau pilihan untuk tidak punya anak saat ini masih menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat Indonesia. Keputusan untuk childfree tidak hanya disebabkan oleh faktor sosial semata namun juga perubahan iklim.
Disebutkan oleh Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya (UB), Wida Ayu Puspitosari bahwa childfree berawal dari negara yang memiliki pengetahuan publik mengenai perubahan iklim.
“Pijakan awal mereka ada di etika, karena sebagai manusia mereka punya etika yang harus dijaga ketika berhubungan dengan relasi dia dengan alam. Kita tahu perubahan iklim jadi faktor yang menentukan masa depan manusia sehingga mereka harus mengubah behavior mereka, salah satunya dengan tidak memiliki anak,” tuturnya pada Selasa (14/2/2023).
Pasalnya, saat ini populasi manusia kian meningkat. Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) sendiri telah mencatat bahwa populasi dunia telah melewati 8 miliar pada 15 November 2022 lalu.
Membeludaknya populasi manusia dapat berimbas pada limbah rumah tangga yang semakin meningkat. Alhasil, childfree dianggap menjadi jalan keluar dari persoalan tersebut.
“Semakin banyak orang di dunia akan menambah konsumsi, dan semakin banyaknya konsumsi makan akan menambah limbah rumah tangga. Jadi perubahan iklim bisa mengancam kehidupan manusia sehingga mereka harus mengurangi faktor risikonya,” tuturnya.
Selain itu, negara besar seperti Amerika, Eropa, bahkan Jepang dikenal dengan besarnya biaya dalam perawatan anak. Tentunya setiap negara memiliki persoalan yang berbeda yang dapat mempengaruhi warganya dalam memutuskan untuk memiliki anak maupun tidak.
“Tiap negara punya konteks yang berbeda. Kalau Eropa dan Amerika masalahnya terkait perubahan iklim. Kalau di Jepang gak mau punya anak karena biaya hidup yang mahal dan kerjanya gila-gilaan sehingga orientasinya untuk bekerja. Kehidupan mereka sifatnya rasional, segala sesuatu dipertimbangkan dan ketika mereka mengedepankan rasionalitas maka mereka berfikir punya anak adalah hal yang bisa dihindari,” lanjut Wida.
Sayangnya, di Indonesia pilihan untuk childfree masih dianggap tidak lazim. Kentalnya budaya patriarki di masyarakat menimbulkan stigma buruk terhadap perempuan yang tak memiliki anak. Mereka dianggap bukan perempuan sejati ketika belum menjadi seorang ibu.
Terlebih, cibiran pedas dari masyarakat akan nyaring terdengar di telinga perempuan yang memutuskan childfree.
“Tidak lazim karena budaya di Indonesia memberikan stigma bahwa perempuan sejati itu bisa melahirkan. Itu yang tidak kita sadari bahwa budaya patriarki membuat jika tidak bisa melahirkan dan tidak bisa mengandung maka sanksi sosialnya besar,” jelas Dosen Sosiologi tersebut.
Sama halnya dengan negara lain, banyak faktor yang dapat menyebabkan munculnya keputusan childfree di beberapa masyarakat Indonesia. Selain masalah finansial, juga didorong oleh keputusan pribadi.
“Mungkin mereka sudah punya pengetahuan tentang pentingnya masalah hubungan manusia dengan lingkungan. Atau mereka merasa childfree pilihan yang baik karena masalah finansial sehingga mereka rakut tidak bisa membiayai anaknya. Selain itu juga karena pilihan, misalnya ingin mengadopsi anak orang lain, dan sebagainya,” jelasnya.
Mengingat, setiap orang memiliki keputusan dan persepsi yang berbeda, Wida menuturkan supaya dapat mengapresiasinya.
“Kalau orang ingin childfree dan dengan childfree dia merasa lebih berkurang beban mentalnya ya apresiasi saja. Merasa pingin awet muda dengan gak punya anak ya apresiasi aja. Kalau punya anak membuat mereka happy ya biarkan. Kita perlu melatih alam bawah sadar kita untuk membuka ruang yang lebar untuk orang bisa mengekspresikan kebebasan,” tutup Wida.
Pewarta: Lutfia
Editor : Redaksi Satukanal
