Satukanal.com, Malang – Film dokumenter garapan Sejarawan Daya Negri Wijaya bertajuk HULA-KETA: Bukan Maluku Tanpa Sagu berhasil dirilis. Film tersebut mengisahkan persilangan budaya yang terjadi antara warga Tidore, Maluku Utara dan orang Eropa ketika pertama kali mendarat di wilayah Tidore.
Menariknya persilangan budaya tersebut tercermin dalam makanan pokok masyarakat setempat, yakni sagu. Dijelaskan oleh Daya, bahwa sebelum datangnya orang Eropa, warga Maluku Utara tak memiliki penyebutan khusus terhadap olahan sagu. Bahkan persilangan budaya tersebut juga menghasilkan olahan baru yakni roti sagu.
“Sebelum ada orang-orang Eropa, istilah roti sagu, sagu lempeng itu tidak ada. Memang sudah ada olahan sagu tapi belum ada yang diolah, seperti bentuknya roti sekarang. Karena yang memperkenalkan roti sagu adalah orang-orang Eropa yang pada waktu itu kehabisan bahan makanan,” jelas Daya usai peluncuran film di salah satu bioskop di Kota Malang, Sabtu (18/3/2023).
Persilangan budaya tersebut berawal dari Juan Sebastian del Cano bersama anak buahnya yang datang ke Maluku Utara. Kala mereka kehabisan roti yang menjadi makanannya, terbesitlah ide untuk mengolah bahan makanan warga lokal.
“Mereka bingung mau makan apa, kemudian muncul ide mengolah apa saja yang ada di sana (Tidore) dengan mengajak penduduk lokal. Kemudian muncul olahan sagu bentuknya seperti roti yang dicetak dengan cetakan sederhana,” terangnya.
Cetakan sederhana tersebut dikenal dengan forno, atau dalam bahasa lokal Maluku Utara disebut dengan keta. Kata forno digunakan oleh orang Liberia, Spanyol maupun Portugis untuk menyebut tungku oven untuk membuat roti.
“Tidak mungkin mereka (orang Eropa) membawa cetakan roti dari Spanyol atau Portugis ke Maluku Utara. Jadi mereka membuat cetakan yang lebih sederhana, dan sekarang orang-orang menyebutnya sebagai forno, bahasa lokalnya adalah keta. Di pasaran sampai sekarang orang kalau beli keta jarang ada yang tau, ngomongnya harus forno. Forno itu bahasa pasar karna yang banyak memesan adalah orang Eropa,” Daya menjelaskan.
Film dokumenter tersebut mengambil latar belakang di Desa Jaya, salah satu desa yang memproduksi sagu di Tidore, Maluku Utara. Tak hanya membicarakan persilangan budaya, pada warga Desa Jaya juga memiliki pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, atau dikenal dengan istilah ‘division of labor.’
“Bapak atau suaminya mengambil bahan baku, misalnya kalau di area pertanian mengambil sari pati sagu dari Kasbi dan dibawa pulang. Nanti yang mengolah, mencetak, dan membakar dari sari pati sagu itu adalah ibu-ibu atau istrinya,” terangnya.
Pra-produksi film dokumenter HULA-KETA: Bukan Maluku Tanpa Sagu telah dimulai dari bulan November 2022 dan baru diproduksi pada Januari 2023. Proses produksi pun tidak memakan waktu lama yakni sekitar satu minggu.
Wakil Wali Kota Malang, Sofyan Edi Jarwoko pun turut hadir dalam peluncuran film dokumenter tersebut. Ia melihat, dengan memanfaatkan sagu sebagai sumber karbohidrat selain nasi dapat meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia. Film tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sumber makanan yang cukup berlimpah.
“Di Indonesia Timur ada sagu, kalau di Jawa ada singkong, ketela rambat, dan sebagainya. Kalau kita terbiasa dan membiasakan dengan bahan makanan yang kita jumpai, kita tidak akan kelaparan. Inilah salah satu penguatan budaya kita, bahwa bangsa ini kaya raya dengan potensi yang dimiliki,” ujar Sofyan.
Dengan tetap memegang budaya lokal, masyarakat juga dapat berperan menjaga kedaulatan pangan di Indonesia.
“Saya kira penting untuk penguatan budaya yang ada. Apalagi masalah pangan menjadi isu internasional dengan perubahan iklim, pertambahan penduduk yang luar biasa, maka masalah pangan ini menjadi isu sentral dan tantangan ke depan,” tuturnya.
Pewarta: Lutfia
Editor :Redaksi Satukanal